FASE ALI BIN
ABI THALIB 35-40 H (656-661 M)
KATA
PENGANTAR
Pertama kali
yang kami rasakan ketika mengkaji sejarah tentang Ali bin Abi Thalib adalah
kerumitan-kerumitan yang menjadi tanda tanya besar bagi kami. Pada waktu itu,
terjadi berbagai konflik atau tepatnya fitnah di kalangan para sahabat, seperti
Perang Jamal (terjadi antara golongan Ali dan Aisyah) dan perang Shifin
(terjadi antara golongan Ali dan Muawiyah). Generasi sahabat yang disebut di
dalam al-Qur’an sebagai Khairu Ummah mengalami peristiwa yang
benar-benar tidak terduga, bahkan oleh para sahabat di masa itu sekali pun. Hal
itu menimbulkan banyak pertanyaan yang harus diselesaikan oleh kaum muslim,
terutama para pengkaji sejarah Islam.
Melihat permasahan
yang sedemikian rumit ini, bahkan sering juga muncul fitnah yang mencitrakan
buruk bagi generasi sahabat di masa itu, maka kami sebagai mahasiswa Islam
selain dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam,
kami juga merasa ada kewajiban untuk ikut serta meluruskan opini-opini miring
tentang Ali bin Abi Thalib. Terutama yang disajikan oleh kalangan Orientalis
dan para pengikutnya yang tidak jujur dan obyektif dalam mengkaji Sejarah
Islam. Konflik-konflik yang terjadi di masa itu menjadi bulan-bulanan untuk
memberikan citra buruk terhadap Islam.
Sebenarnya,
pembahasan masa khalifah Ali ra sudah banyak dilakukan oleh para mu’arrikhin.
Ada yang menganalisa masa khalifah Ali dari segi politiknya, seperti yang dilakukan oleh Jeje Zainudin Abu
Himam, MA, dalam buku yang berjudul “Akar Konflik Umat Islam; Sebuah Pelajaran
dari Konflik Politik Pada Zaman Sahabat”. Meskipun dalam judul bukunya terdapat
kata “Zaman Sahabat”, namun fokusnya adalah masa khalifah Ali ra. Buku itu
secara spesifik membahas tentang konflik politik yang terjadi pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Buku itu cukup representatif untuk meng-counter
buku-buku sejarah Islam yang ada di Indonesia yang tidak adil dalam
memaparkan sejarah tentang Ali ra. Ada juga yang membahas masa khalifah Ali
dengan tujuan memberikan deskripsi yang utuh dan menyeluruh, seperti yang
dilakukan Husain Haikal.
Tentunya, membahas khalifah Ali dalam
sebuah makalah yang sederhana tidaklah akan cukup dan memuaskan. Namun, belajar
dari uraian buku-buku di atas, kami berusaha untuk memberikan beberapa analisa
dengan menggunakan buku-buku itu, untuk kemudian menguatkan atau bahkan
mengkritisi, bila memang terdapat pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai
dengan data-data sejarah yang ada. Kami akan mulai
pembahasan ini dengan menganalisa situasi di akhir pemerintahan Utsman bin
Affan. Kemudian akan kami bahas tentang pemerintahan Ali dan berbagai peristiwa
penting yang terjadi. Adapun masalah futuhat (kemenangan), di sini kami akan
membahasnya secara sepintas. Di makalah ini juga, kami tidak akan menghadirkan
biografi Ali, sebab yang jadi fokusan kami adalah masa kekhalifahannya. Ini
sengaja kami lakukan agar tidak memperlebar pembahasan.
Purworejo, 15 Oktober 2012
Penulis
PEMBAHASAN
A. Situasi Terakhir
Pemerintahan Utsman bin Affan r.a
Sudah dimaklumi bahwa satu peristiwa pasti berkaitan dengan
peristiwa yang lain, hal itu biasa disebut dengan kausalitas. Begitu juga
dengan peristiwa yang menyangkut dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, besar
hubungannya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemerintahan Utsman
bin Affan, terutama pada masa-masa akhir pemerintahannya. Utsman bin Affan
dibunuh secara tragis oleh salah seorang yang disebut dalam sejarah-sejarah
sebagai rombongan penentang pemerintahan kekhalifahan Utsman bn Affan.
Pembunuhan kepada sang khalifah terjadi akibat berbagai insiden yang
mendera pemerintahan Utsman dan rakyatnya. Peristiwa itu diawali dengan
pembangkangan yang dilakukan penduduk Kuffah, Mesir dan Bsharah terhadap
kekhalifahan Utsman bin Affan. Mereka memprotes kebijakan Utsman yang dinilai
terlalu mementingkan sukunya. Oleh karena itu, mereka meminta kepada khlalifah
Utsman untuk memecat para pejabat pemerintahan yang mereka tidak sukai.
Diantaranya adalah Al-Walid bin Uqbah (Gubernur Kuffah), Abdullah bin Sa’ad bin
Abi Sarah (Gubernur Mesir). Mereka bergabung menjadi satu koalisi pergi ke
Madinah untuk memprotes dan menentang terhadap kebijakan-kebijakan Utsman.
Khalifah Utsman akhirnya bersedia untuk mengabulkan permintaan
mereka dengan mengganti Al-Walid bin Uqbah dengan Sa’id bin Ash, dan Abdullah
bin Sa’ad bin Abi Sarah dengan Muhammad bin Abu bakar. Keputusan itu untuk
sementara memberi rasa lega kepada rombongan koalisi penentang dan memberi optimisme
kembalinya perdamaian. Karena itu pula mereka bersedia membubarkan diri untuk
kemudian pulang ke negeri asal mereka.
Beberapa saat kemudian, sejarah berbicara lain, rombongan itu
kembali lagi ke Madinah dengan membawa kemarahan meluap-luap. Mereka membawa
sepucuk surat rahasia yang dirampas dari seorang budak Utsman yang sedang
berlari kencang menuju Mesir. Isi surat yang berstempel Khalifah Utsman
tersebut memerintahkan kepada Gubernur Mesir agar menangkap dan membunuh para
penentang khalifah. Anehnya Khalifah Utsman pun berani bersumpah bahwa ia tidak
pernah menulis surat semacam itu. Bahkan ia meminta dibawakan bukti dan dua
orang saksi untuk mengklarifikasi keberadaan surat itu. Setelah tiga hari tiga
malam, ultimatum para penentang ini tidak digubris oleh Utsman, beberapa orang
berhasil menerobos barisan penjaga gedung Utsman dari atap rumah bagian samping
lalu membunuh Khalifah Utsman yang sedang membaca al-Qur’an.
Peristiwa terbunuhnya Utsman di tangan rombongan penentang itu
menyisakan banyak teka-teki sejarah yang tak kunjung memuaskan. Terutama mengenai misteri surat
rahasia itu yang menjadi tanda tanya besar bagi para pengkaji sejarah Islam. Siapakah sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas keberadaan
surat itu. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik pada masa
kekhalifahan selanjutnya.
B. Pemerintahan dan Kebijakan Politik Ali r.a
Pembai’atan Ali berjalan
dengan mulus dan mayoritas penduduk Madinah menerima kekhalifah Ali dengan
antusias. Setelah dilantik menjadi khalifah, Ali bin Abi Thalib menyampaikan
pidato politik untuk pertama kalinya. Pidatonya tersebut secara umum menggambarkan garis besar dari visi
politiknya. Menurut Jeje Zainudin, sedikitnya ada lima visi politik Ali dari
pidatonya itu. Pertama, sumber hukum dan dasar keputusan
politik yang akan dilaksanakan oleh Ali adalah kitab suci al-Quran. Ini tidak
berarti bahwa Ali akan mengabaikan al-Sunnah, sebab al-Quran hanya dapat
dilaksanakan secara tepat jika ia dibimbing oleh Sunnah Nabi saw, dan Ali
tentulah orang yang paling memahami persoalan ini. Kedua, mewujudkan
nilai-nilai kebaikan ideal al-Quran dan menolak segala keburukan dalam
masyarakat. Ketiga, tulus ikhlas dalam memimpin dan
mengutamakan integrasi kaum muslimin. Keempat, melindungi
kehormatan jiwa dan harta benda rakyat dari segala gangguan kezaliman lidah dan
tangan. Kelima, membangun kehidupan masyarakat yang
bertanggungjawab terhadap bangsa dan Negara dengan landasan ketaatan kepada
Allah swt.
Politik
yang dijalankan seseorang adalah gambaran pribadi orang itu, yang akan
mencerminkan akhlak dan budi pekertinya. Ali mempunyai watak dan pribadi
sendiri, suka berterus terang, tegas bertindak dan tak suka berminyak air.
Beliau tak takut akan celaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Di sebabkan
oleh keperibadian yang dimilikinya itu, maka sesudah Beliau dibai'ah menjadi
Khalifah, dikeluarknnya dua buah ketetapan :
1. Memecat kepala-kepala daerah angkatan Utsman.
Dikirimnya kepala daerah baru yang akan menggantikan. Semua kepala daerah
angkatan Ali itu terpaksa kembali ke Madinah, Karena tak dapat memasuki daerah
yang ditugaskan kepadanya.
2. Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan Utsman kepada
family-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah
atau pemberian Utsman kepadasiapapun yang tidak beralasan, di ambil lagi oleh
Ali.
Menarik untuk dibahas, meskipun pembai’atan Ali berjalan mulus dan
lancar, akan tetapi ada beberapa kelompok dari kalangan kaum muslimin saat itu
dalam menyikapi kekhalifan Ali bin Abi Thalib.
Pertama, kelompok yang melarikan diri dari
Madinah menuju Syam segera setelah terbunuhnya Utsman dan menghindari ikut
campur dalam pembai’atan pengangkatan Khalifah. Mereka adalah anak cucu Bani
Umayyah dan para pendukung setianya. Di antaranya adalah tokoh dari Bani Umayah
adalah Marwan bin al-Hakam dan al-Walid bin Uqbah. Sementara dari tokoh-tokoh
pendukung setianya yang ikut melarikan diri ke Syam adalah Qudamah bin Madh’un,
Abdullah bin Sallam, Mughirah bin Syu’bah dan Nu’man bin Basyir.
Kedua, Kelompok yang menangguhkan pembai’atan
terahadap Ali dan menyatakan menunggu perkembangan situasi. Diantaranya adalah
Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdullah bin Tsabit, Muhammad bin Salamah, Usamah bin
Zaid, dan Salamah bin Salamah bin Raqis.
Ketiga, kelompok yang sengaja tidak mau
memberikan bai’at kesetiannya kepada Ali bin Abi Thalib meskipun mereka tetap
berada di Madinah saat pembaiatan Ali. Diantaranya adalah Hasan bin Tsabit,
Ka’ab bin Malik, Zaid bin Tsabit, Rafi’ Khadij, Abu Sa’id al-Khudry, Muhammad
bin Maslamah, dan Maslamah bin Mukhallad. Mereka disebut-sebut sebagai kelompok
yang sangat loyal terhadap Utsman bin Affan.
Keempat, kelompok sahabat penduduk Madinah yang
menunaikan ibadah haji pada tahun itu dan belum pulang saat terjadi
pembai’atan. Setelah terjadi pembai’atan, sebagian kecil mereka tidak pulang ke
Madinah melainkan menunggu perkembangan situasi dari Mekkah. Termasuk di antara
mereka adalah Aisyah radiyallahu ‘anhaa.
Sikap kaum muslimin di atas, berpengaruh besar terhadap pemerintahan
khalifah Ali di kemudian hari. Gambaran situasi awal pembaiatan Ali seperti
diungkapkan diatas cukup menjadi isyarat tentang rumitnya situasi politik
menjelang dan pasca pembunuhan Utsman. Hal ini menjadi preseden tidak baik bagi
situasi politik yang dihadapi Ali. Bagaimanapun, Madinah adalah ibukota Negara
dan pusat kewibawaan agama semenjak Nabi Muhammad hingga tiga Khalifah
sesudahnya. Keputusan politik dan keagamaan yang disepakati penduduk Madinah
menjadi acuan bagi seluruh wilayah Islam yang ada di luarnya. Untuk saat itu,
dapatlah dikatakan Madinah menjadi barometer keutuhan umat. Sebab, disinilah
berkumpulnya para sahabat Nabi yang sangat dihormati oleh generasi
sesudahnya. Jika penduduk Madinah saja sudah tidak utuh dan bilat dalam suatu
keputusan politik public, maka penduduk di luar Madinah akan lebih sulit lagi
untuk bersatu menerimanya.
Meskipun keadaan politik saat itu
begitu rumit, Ali ra, sebagai seorang khalifah tetap menjalankan berbagai
program untuk merealisasikan visi pemerintahannya. Yang
sangat penting dilakukan pada saat itu adalah bagaimana meredakan berbagai isu
yang sedang dan akan timbul setelah kematian Utsman bin Affan.
Kebijakan-kebijakan Ali itu antara lain mengganti Para Pejabat,
Pembenahan Bait al-Mal dan Perpajakan, Pembenahan Administrasi kepegawaian,
Pengadilan dan Militer, serta menghadapi Para Penantang. Yang terakhir ini
dilakukan agar kekacauan politik dunia Islam stabil.
C. Peristiwa-Peristiwa Penting Yang Terjadi
Beberapa kejadian penting terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi
Thalib. Sedikitnya ada tiga kejadian yang menurut kami sangat penting untuk
dibahas. Perang Jamal dan Perang Siffin serta pemberontakan khawarij.
1. Perang Jamal
Ketika Aisyah telah menunaikan umrah dan akan kembali ke Madinah,
beliau menangguhkan kepulangannya setelah mendengar berita kematian khalifah
Utsman. Terlebih Aisyah mendapatkan kabar bahwa Ali telah dibaiat menjadi
khalifah pengganti Utsman. Aisyah, yang dikenal mempunyai analisa yang tajam
terhadap teks-teks keagamaan, menuntut hal yang sama seperti Muawiyyah, supaya
Ali mengusut tuntas siapa pembunuh Utsman. Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair
bin Awwam yang saat itu berada di Madinah, meminta izin kepada Ali bin Abi
Thalib untuk pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan umrah. Data tersebut memberikan
informasi pada kita, bahwa Thalhah bin Ubaidillah dan Zuber bin Awwam pada
awalnya telah membaiat Ali bin Thalib sebagai khalifah. Dr. Hasan Ibrahim Hasan
bahkan menyebut Thalhah bin Ubaidillah sebagai orang yang pertama kali membaiat
Ali bin Abi Thalib. Namun, setelah tiba di Makkah dan bertemu dengan Aisyah,
kedua sahabat itu akhirnya sepakat untuk sama-sama menuntut Ali agar mengusut
dan menghukum para pembunuh Utsman.
Informasi-informasi di atas juga memberi gambaran kepada kita, bahwa
penentangan yang dilakukan oleh Muawiyyah, Aisyah, Thalhah dan Zubeir factor
utamanya adalah penuntasan hukum qishah terhadap pembunuh Utsman. Ini
penting untuk diperhatikan agar tidak terjadi salah paham. Penentangan mereka
bukan mempermasalahkan siapa yang sebenarnya dan seharusnya yang jadi khalifah
pengganti Utsman, seperti yang diungkapkan oleh beberapa analis sejarah. Dalam
salah satu bukunya, yang juga menjadi rujukan primer di Perguruan Tinggi, Badri
Yatim mengutip pendapat Ahmad Syalabi yang menyatakan bahwa Abdullah ibn Zubair
adalah penyebab terjadinya pemberontakan terhadap Ali dan mempunyai ambisi
besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan
ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur
dan ia dapat menggantikan posisi Ali.
Beberapa kali Aisyah merasa ragu-ragu untuk meneruskan peperangan
ini, tetapi Abdullah ibnu Zubair selalu dating kepadanya menghilangkan
keragu-raguannya, dan menghasutnya meneruskan tindakan yang berbahaya itu. Dengan
redaksi yang kurang lebih sama, Harun Nasution juga menyatakan bahwa;
“Setelah
Usman wafat, Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang keempat. Tetapi
segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
khalifah, terutama Thalhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat
sokongan dari Aisyah.”
Ensiklopedi Islam juga memuat informasi yang tidak jauh berbeda
dengan yang disebutkan para penulis di atas. Dalam Ensiklopedi itu dikutip
sebuah pendapat yang menyebut bahwa pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh
keinginan Thalhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Kedua sahabat itu,
menurut penulis Ensiklopedi Islam, masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya
menjadi khalifah.
Hipotesa beberapa penulis di atas
jauh berbeda dengan Asma’ Muhammad Ziyadah. Seperti dinyatakan Asep Sobari Lc,
Muhammad Ziyadah mengungkapkan dalam tesisnya, tidak ada riwayat shahih yang
menyebut `Aisyah mencabut bai`atnya terhadap Ali. Dasar
gerakan `Aisyah adalah menuntut penghukuman orang-orang yang membunuh Utsman. Sementara
Zubair dan Thalhah memiliki dasar pikiran yang sama sehingga mereka bergabung
untuk mencari jalan keluar persolan ini, setelah empat bulan dari tragedi
pembunuhan Usman. Bagi mereka, persoalan qishash terhadap
pembunuh Utsman harus segera diselesaikan, sebab khawatir kejadian serupa akan
terulang kembali di masa yang akan dating. Jika para pembunuh Utsman itu
dibiarkan berkeliaran bebas, maka upaya pembunuhan khususnya, atau lebih
jauhnya lagi pemberontakan terhadap pemimpin (Imam) dimasa yang akan datang
bisa sering terjadi.
Ada hal lain yang perlu juga untuk dibahas mengenai beberapa analisa
yang diberikan oleh para pakar sejarah mengenai latar belakang penentangan
Aisyah terhadap Ali. Sebagian ada yang menyebutkan bahwa Aisyah menolak baiat
kepada Ali dikarenakan sentimen pribadi. Ahmad Syalabi misalnya, dalam bukunya
dia menyatakan;
“Ada
faktor lain yang lebih penting dari itu [tuntutan qishash], diantaranya;
(1) Sejak dari dahulu telah ada ketegangan antara
Ali dan Aisyah. Asiyah sendiri pernah berkata;
sebenarnya demi Allah antara Ali dan saya tak ubahnya sebagai orang dengan
mertuanya. Mungkin, ketegangan ini disebabkan oleh
pendirian Ali memberatkan Aisyah dalam peristiwa hadits al-Ifki.
(2) Ali pernah menyaingi Abu Bakar dalam
pemilihan khalifah Abu Bakar dalam pemilihan khalifah dulu....
(3) Ada lagi faktor lain yang lebih penting,
yaitu faktor Abdullah bin Zubeir, putera saudaranya yang perempuan yang bernama
Asma bin Abi Bakar, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan didiknya di rumanya
sendiri.
Memang ada beberapa hadits yang oleh sebagian orang ditafsirkan
sebagai bentuk rasa sentimen Aisyah terhadap Ali. Imam Ahmad dalam Musnadnya
meriwayatkan sebuah hadits yang menceritakan situasi Rasulullah saat sakit. Kala itu,
Aisyah mengatakan Ibnu Abbas wa rajulun fulanun. Ibnu Abbas berkata
kepada Ubaidillah, “Tahukah kamu siapa laki-laki yang bersamaku memapah
Rasulullah? Itu adalah Ali, tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”.
Hadits lain yang juga sering dijadikan justifikasi untuk menunjukkan
rasa sentimen Aisyah terhadap Ali adalah tatkala ada penghinaan terhadap Ali
dan Ammar. Ketika itu, Aisyah berkata: “Aku tidak akan mengatakan apapun
tentang Ali. Tetapi mengenai Ammar, sungguh aku mendengar Rasulullah bersabda;
“Setiap kali dihadapkan kepada dua pilihan, pastia ia (Ammar) memilih yang
paling bijaksana diantara keduanya” Dalam hadits kedua ini, tekesan Aisyah
hanya membela Ammar. Sementara terhadap Ali, seakan-akan dia tidak
memperdulikannya (membelanya).
Mengapa Aisyah dalam dua hadits di atas terkesan bersikap buruk
terhadap Ali. Ada yang mengatakan, sikap Aisyah tersebut merupakan buntut dari
sikap Ali dalam masalah hadits al-Ifki. Ketika dimintai nasihat
(pendapat) oleh Rasul tentang kejadian itu, Ali mengatakan; “Wahai Rasulullah, tidaklah
Allah akan menyusahkanmu sedang wanita selain dia masih banyak. Dan tanyakanlah
kepada Barirah mungkin ia dapat memberi keterangan yang jujur kepadamu”.
Jawaban Ali kepada Rasulullah ini nampaknya melukai perasaan Aisyah.
Seakan-akan Ali menyetujui isu yang sedang beredar ditengah masyarakat bahwa
Aisyah telah meyeleweng dari Rasulullah saw. Atau paling tidak Ali tidak
menunjukkan pembelaannya kepada Aisyah disaat mana posisinya beserta Rasulullah
benar-benar tertekan dengan berita fitnah.
Kata-kata Ali kepada Rasulullah mengenai penilaiannya atas Aisyah
ini juga nampaknya diplintir kalangan penguasa Bani Umayah di kemudian hari
sebagai alat propaganda dalam menjatuhkan kredibilitas dan aksebilitas Ali
dikalangan para pegikutnya. Sebagaimana pengakuan imam Al Zuhri, tokoh hadits
dari generasi tabi’in yang sangat terkemuka, bahwa ia pernah dibujuk oleh Al
Walid bin Abdul Malik bin Marwan untuk menyetujui bahwa Ali termasuk orang yang
memfitnah Aisyah. Tetapi Al Zuhri dengan tegas menolak dan ia mengemukakan
pengakuan Aisyah sendiri bahwa Ali tidaklah termasuk orang yang memfitnahnya
yang dikecam Allah dalam Al Quran surat Annur ayat 11 sebagai “kelompok
persekongkolan”, Ali hanyalah tidak memberi sikap pembelaan kepada Aisyah,
bukan ikut memfitnahnya.
Berkenaan dengan peristiwa dipapahnya Rasulullah ketika sakit menuju
rumah Aisyah oleh Ibnu Abbas dan Ali dan keengganan Aisyah menyebutkan nama Ali
dalam periwayatan hadits tersebut, diriwayatkan pula dalam Al Jâmiush
Shahîh Al Bukhari (Kitab Al Wudhu’, no. hadits 191) tanpa ada tambahan
perkataan Ibnu Abbas, “tetapi Aisyah tidak suka hati kepadanya”. Tambahan
perkataan ini memang terasa bias dengan pesan bahwa Aisyah benci dan dendam
terhadap Khalifah Ali. Oleh karena itu tambahan perkataan pada riwayat hadits
di atas tidak diambil oleh Imam Al Bukhari dalam Shahîh-nya melainkan
mencukupkan dengan kata-kata Ibnu Abbas, “Laki-laki yang seorang lagi itu
adalah Ali”. Kemungkinan tambahan perkataan, “tetapi Aisyah tidak suka hati
kepadanya (yakni kepada Ali)”, adalah dari periwayatan Ma’mar bin Râsyid,
seorang rawi yang terdapat pada sanad Imam Ahmad dari Az Zuhry. Ibnu Hajar Al
Asqalani mencurigai hadits Ma’mar yang diriwayatkannya di Bashrah. Inilah
sebabnya Imam Al Bukhari dalam kasus ini tidak mengambil jalur riwayat dari
Ma’mar melainkan dari Syu’aib bin Abi Hamzah, orang yang paling kuat riwayatnya
dari Az Zuhri.
Adapun mengenai riwayat Imam Ahmad bahwa Aisyah membiarkan seseorang
yang mencela Ali dan membela Amar, hadits inipun diragukan kesahihannya mengingat
pada sanad tersebut ada rawi Habib bin Abi Tsabit yang meriwayatkan dari Atha’
bin Yasâr. Meskipun Habib dinilai tsiqat dan tsabit oleh
sebagian ulama Ahlul Jarhi wat Ta’dîl, namun menurut Ibnu Huzaimah ia
seorang mudallis. Menurut Ibnul Qaththan hadits Habib dari Atha’ tidak
terpelihara. Dan menurut Al Uqaili haditsnya dari Atha’ bin Yasâr tidak ada mutâbi’nya.
Jadi sikap Aisyah membiarkan Ali dicaci orang tidaklah ada landasannya yang
kuat. Sedang mengenai hadits Amar sebagai orang yang suka memilih keputusan
yang paling bijak, diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad pada Musnad-nya
no. 4028 dengan sanad yang sahih dari Abdullah bin Mas’ud.
Alasan lain yang yang sering disebut-sebut para peneliti sebagai
penyebab retaknya hubungan Ali dengan Aisyah adalah bahwa Aisyah sangat cemburu
kepada Khadijah, istri pertama Nabi yang telah wafat di Mekkah. Kecemburuan
Aisyah ini karena Nabi sering menyebut dan memujinya dihadapan Aisyah. Karena
itu Aisyah melampiaskan kecemburuannya kepada Fatimah, putri Nabi dari Khadijah
yang sangat dicintainya. Ketika Ali menikah dengan Fatimah dan perhatian Rasul
sangat besar kepada mereka berdua, kecemburuan Aisyahpun ditumpahkan kepada
Fatimah dan Ali.
Menurut Jeje Zaenudin, tuduhan bahwa Aisyah
menyimpan dendam kesumat kepada Ali dan Fathimah atas dasar kecemburuannya
kepada Khadijah. adalah bualan-bualan kaum Syiah Rafidhah yang tidak
berdasar. Pendek kata, tidak data yang akurat untuk djadikan alasan bahwa
perselisihan Aisyah dengan Ali pada masalah tuntutan qishash atas pembunuhan
Utsman dilatarbelakangi sentimen pribadi. Memang tidak dapat dipungkiri adanya
berita-berita sejarah telah menceritakan adanya kerenggangan hubungan personal
antara Ali dengan Aisyah jauh sebelum peristiwa terbunuhnya Utsman yang
disebabkan perselisihan pendapat antara Abu Bakar dengan Fathimah putri
Rasulullah mengenai tanah Fadak yang diwakafkan untuk kaum muslimin, dan
mengenai saran Ali kepada Rasulullah ketika diminta pendapatnya tentang tuduhan
orang kepada Aisyah pada peristiwa hadîtsul ifki. Mungkin saja
kekurang harmonisan hubungan ini telah ikut mempengaruhi keberpihakkan Aisyah
kepada kelompok oposisi. Tetapi untuk mengambil kesimpulan bahwa semata-mata
sentimen pribadi di antara mereka itu merupakan alasan utama bagi Aisyah
menentang Ali sungguh terlalu naif. Sebab tidaklah mungkin Aisyah dengan
kedudukannya sebagai pribadi yang agung istri Nabi dan Ibu kaum mukminin akan
menempuh cara tercela hanya karena sakit hati. Lagi pula tidak mungkin beliau
mendapat dukungan yang cukup besar dari beberapa suku Arab jika tidak ada
alasan logis yang lebih kuat dan lebih meyakinkan mereka dari sekedar memenuhi
dendam kesumat pribadi yang tidak berdasar.
Dengan demikian, penentangan Aisyah terhadap Ali
adalah murni dari pemahaannya terhadap teks al-Quran yang mewajibkan hukum qishash
bagi para pelaku pembunuhan. Bukan atas dasar sentimen pribadi terhadap
Ali. Di sini juga perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa penentangan dari pihak
Aisyah, termasuk di dalamnya Thalhah dan Zuber, murni karena menuntut pengusutan
tuntas terhadap pelaku pembunuh Utsman. Bukti lain yang menguatkan statmen itu,
dapat dilihat dari beberapa surat dan dialog antara Aisyah, Thalhah, Zuber dan
Ali yang tidak pernah menyinggung masalah khalifah. Begitu juga dari berbagai pidato Aisyah dalam
rangka mendapat dukungan maupun menjawab delegasi-delegasi Ali.
Tentang penuntutan qishash itu,
menurut Mahmud Abbas al-Aqqad, Ali sebenarnya paham dan memaklumi tuntutan para
sahabat itu. Namun, saat itu Ali berada dalam posisi terjepit. Kesulitan yang
dihadapi Ali itu disampaikan kepada rombongan delegasi para sahabat di Madinah.
Saat itu, Ali mengatakan;
“Wahai saudaraku, tidaklah aku lalai dari apa
yang kalian ketahui. Tetapi, apa yang dapat aku lakukan kepada satu kaum yang
mereka menguasai kita dan kita tidak menguasai mereka. Telah memberontak
bersama mereka budak-budak kalian dan orang-orang Badui memperkuat mereka
semenatara mereka ada disela-sela kalian dapat menimpakan keburukan atas
kalian. Apakah kalian menemukan satu celah untuk kuasa bertindak sesuatu
sebagaimana yang kalian inginkan.
Jika informasi yang diberikan
al-Aqqad di atas benar, dapatlah dimaklumi keputusan Ali untuk menangguhkan qishash..
Ali kelihatannya ingin membentuk kekuatan terlebih dahulu dari kalangan kaum
muslim, terutama dari para pembesar sahabat. Jika itu sudah terbentuk, maka
kekuatan hokum untuk mengusut tuntas siapa pembunuh khalifah Utsman akan dapat
dilaksanakan dengan lancer. Bagi Ali, persoalan qishash baru dapat
ditegakkan manakala situasi politik sudah tenang dan kaum muslimin sudah
bersatu pada dalam satu pemerintahan yang kokoh. Kemudian ada pengaduan dan
tuntutan dari pihak keluarga yang jadi ahli waris Utsman. Sebab, pembunuhan
Khalifah Utsman bukanlah criminal biasa melainkan tragedy politik yang tidak terbayangkan
sebelumnya. Lagi pula jumlah pembunuh Utsman yang sebenarnya belum diketahui
secara pasati, sementara para pendukung yang terlibat di dalamnya dating dari
berbagai kabilah dan suku yang berbeda. Sangat rawan bagi Ali dan bagi
keutuhan umat jika ia ceroboh menetapkan qishash kepada para tersangka
tanpa menunggu situasi yang tepat. Karena bagaimanapun, fanatisme kelompok akan
menjadi dasar bagi tiap kabilah untuk membela anggota kabilahnya yang dituntut
hukuman qishash meskipun umpamanya terbukti benar-benar terlibat. Pada akhirnya
penegakkan qishash itu malah akan menimbulkan peperangan baru antar
kabilah dari keluarga penuntut dengan kabilah dari keluarga terdakwa.
Karena perbedaan pandangan antara
kedua kubu itu, maka peperanganpun tidak bisa dihindari. Perang pertama antara
dua kubu muslim ini dikenal dengan sebutan Perang Jamal. Dikatakan
Perang Jamal karena saat itu Aisyah menaiki unta ketika berperang. Perang ini
memakan banyak korban. Ibnu Katsir menyebut kurang lebih dari sepuluh ribu
orang dari kedua belah pihak menjadi korban. Bahkan dua tokoh sahabat, Thalhah
dan Zubeir yang oleh Rasulullah dijamin masuk surga, meninggal dunia. Padahal
saat itu, Thalhah dan Zubeir telah mengundurkan dari medan pertempuran dan
menyesali sikapnya yang berlebihan dalam menentang Ali. Perang itu sendiri
dimenangkan oleh Ali bin Abi Thalib. Ali beserta pengikutnya kemudian mengurusi
para korban dan menyolatkannya. Sikap Ali di atas menunjukkan bahwa peperangan
itu bukanlah peperangan untuk menentukan siapa mukmin siapa kafir. Buktinya Ali
menyolati para korban dari kedua pihak. Setelah mengurusi korban, menyolati dan
menguburkannya, Ali memulangkan Aisyah ke Madinah dengan penuh penghormatan.
Menurut Joesoef Souyb, sejak kejadian tersebut, Aisyah menghabiskan umurnya
untuk beribadah dan mengajarkan hadits kepada para penuntut ilmu di Madinah. Ia
menjauhkan diri dari hiruk pikuk percaturan politik yang terus bergejolak
sampai akhir hayatnya. Banyak merenung dan menyesali perbuatannya karena ikut
terlibat dalam peperangan.
Perang antara kubu Ali bin Abi
Thalib dan Aisyah, Thalhah dan Zuberi merupakan fakta sejarah yang sudah
terjadi. Namun demikian, perlu kita ketahui juga, apakah memang saat itu perang
benar-benar merupakan solusi satu-satunya? Atau ada grand desaind dari
pihak luar yang sengaja memperkeruh suasana yang mengakibatkan peperangan?
Analisa yang diberikan oleh beberapa
ahli sejarah menyebut bahwa sebelum terjadi perang, Ali dan Aisyah melakukan
dialog melalui surat-menyurat.untuk melakukan ishlah. Tepat pada hari
kamis, pertengahan Jumadil Akhir tahun 36 H, Ali, Thalhah dan Zubeir melakukan
negosiasi selama tiga hari untuk mencari jalan damai. Upaya tersebut
sebenarnya berhasil mencapai kesepakatan bahwa masing-masing mereka akan
menahan diri dan menindak lanjuti upaya damai pada hari berikutnya.
Pada saat itu, nampaknya Thalhah dan
Zuber meminta Ali agar tidak melibatkan kelompok-kelompok yang menyerang Utsman
bin Affan dan orang-orang yang terindikasi mendukungnya dalam pembicaraan
damai. Karena menjelang hari perdamaian Ali menginstruksikan agar semua yang
terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan Utsman baik itu yang dating dari
Bashrah maupun Kuffah segera mengundurkan diri dan pulang ke kampong halaman
masing-masing.
Instruksi Ali itu mengejutkan para
pimpinan kelompok tersebut yang termasuk dari mereka orang-orang yang dekat dan
kepercayaan Ali sendiri seperti al-Asytar al-Nakha’I dan Syuraih bin Aufa.
Keduanya mengundang tokoh-tokoh pemberontak Utsman untuk bertemu dan membuat
rencana untuk sebuah aksi yang patut diambil. Mereka sepakat bahwa rencana
damai itu harus digagalkan. Sebab, bila tidak maka merekalah yang akan
menjadi korban perdamaian antara Ali dengan pihak Aisyah. Bukankah penentangan
Aisyah, Thalhah dan Zuber kepada Ali dikarenakan Ali tidak segera menghukum
qishash para pembunuh Utsman. Maka damianya pihak Ali
dan Aisyah berarti kematian bagi mereka. Sebagian ahli sejarah berkeyakinan
bahwa orang-orang diatas adalah antek-antek Abdullah bin Saba. Mereka ini
adalah profokator-profokator yang sengaja menyelendup baik ke pihak Ali maupun
Aisyah.
Ali Audah memberi rincian kronologis penyerangan para perusuh dalam
rangka menggagalkan upaya perdamaian antara pihak Ali dan Aisyah. Bahkan
menurutnya, Aisyahlah yang ingin menyelesaikan persoalan antara Ali dengan
pihaknya dengan cara perdamaian, bukan dengan kekerasan. Posisi Aisyah saat itu
adalah di Basrah. Dengan demikian, Aisyah saat itu menghadapi pemerintahan
bentukan Ali yang ada di Basrah. Basrah saat itu dipimpin oleh gubernur Usman bin
Hunaif. Terjadi pertempuran terlebih dahulu antara pihak Aisyah dengan
pihak Usman bin Hunaif. Karena Aisyah menginginkan perdamaian, akhirnya
disepakati untuk gencatan senjata. Gencatan itu sendiri salah satu isinya
adalah mengakui Usman bin Hunaif sebagai gubernur Basrah berikut bait
al-Maal dan gudang senajatanya. Sementara bagi pihak Aisyah, mereka dibolehkan tinggal di mana saja di
Basrah. Sambil menunggu Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Basrah dan penduduknya
dalam keadaan tenang, aktifitas pemerintahan dan praktek keagamaan dapat
dilaksanakan seperti hari-hari biasa.
Namun, seperti telah disinggung sebelumnya, ada pihak yang tidak
senang dengan keadaan seperti itu. Ada pihak yang ingin berencana untuk
mengacaukan keadaan. Kekacauan itu dilakukan oleh Hakim bin Jabalah, pengikut
Ibnu Saba. Hakim bin Jabalah menculik Usman bin Hunaif selepas shalat Isya. Mereka juga menyerbu Bait
al-Maal dan membunuh para penjaganya. Ketika hal
tersebut diketahui, penduduk Basrah melakukan perlawanan dengan Hakim bin Jabalah.
Orang ini kemudian mati bersama tujuh puluh pengikutnya dalam pertempuran
dengan Thalhah dan rombongannya.
Jika kita teliti secara cermat informasi yang diberikan Ali Audah
ini semakin menguatkan sinyalemen bahwa terdapat scenario besar dibalik kegagalan
perdamaian itu. Hakim bin Jabalah menculik Usman bin Hunaif, menyerbu bait
al-Maal dan para penjaganya, yang semuanya itu merupakan asset
pemerintahan Ali bin Thalib. Namun, Hakim bin Jabalah mati di tangan Thalhah
dan kelompoknya. Menurut kami, hal ini menunjukkan bahwa Hakim bin Jabalah,
pengikut Ibnu Saba itu, melakukan profokator, mengadu domba pihak Ali dengan
cara menculik dan membunuh Usman bin Hunaif. Tentu saat itu, pihak Ali
mempunyai firasat bahwa pelaku penculikan itu adalah pihak Aisyah. Di sisi
lain, Hakim bin Jabalah juga melakukan pertempuran dengan pihak Thalhah. Bagi
Thalhah yang saat itu memang sedang dalam keadaan gencatan senjata, kemungkinan
besar juga berpikir bahwa pihak Ali telah melakukan pengkhianatan, melakukan
penyerangan dengan tiba-tiba untuk menumpas kelompoknya. Walhasil, kecurigaan
dan akhirnya peperangan antara kedua kubu tidak bisa dihindari.
2. Perang Siffin
Saat Utsman terbunuh oleh para perusuh yang mengepung rumahnya,
Nailah, istri Khalifah Utsman bin Affan yang menyaksikan dan sekaligus jadi
korban kebrutalan para perusuh sehingga jari-jari tangannya terputus dengan
tebusan pedang mereka, segera menulis surat untuk Muawiyah di Syria yang
menuturkan kronologis pembunuhan Khalifah. Beserta surat ini dikirimkan juga barang
bukti berupa pakaian Utsman yang berlumuran darah dan jari-jari tangan Nailah
yang terpotong. Barang
bukti ini kemudian digantungkan di atas mimbar Masjid Jami Syria. Para penduduk
yang memang sangat menghormati Utsman terharu melihat barang bukti itu, dan
menuntut agar para pelaku pembunuhan dihukum qishash. Keadaan semakin
memanas, tatkala dating utusan khalifah Ali bin Abi Thalib yang menuntut janji
ketaatan (baiat) terhadap Ali. Ditambah lagi, keputusan Ali memecat Muawiyyah.
Karenanya, kebanyakan penduduk di Syiria menangguhkan –bukan menolak-
pembaiatan terhadap Ali sebelum para pembunuh Utsman dikupas tuntas. Menurut
Ali Audah, ada dua alasan mengapa Muawiyyah tidak membaiat Ali bin Abi Thalib. Pertama,
bagi Muawiyyah, tuntutan para pembunuh Utsman harus terlebih dahulu ditangkap
dihukum. Kedua, tak ada suara bulat dari kalangan terkemuka muslim
(para sahabat senior). Saat itu Muawiyyah berargumen, bahwa sikapnya yang
menolak untuk membaiat Ali tidak berarti dia berontak terhadap Imam, tetapi
alasannya, lebih-lebih karena tak ada suara bulat dari kalangan untuk
membaiatnya.
Telah disinggung sebelumnya,
bagaimana dan mengapa Ali menangguhkan qishash terhadap pelaku
pembunuh Utsman. Namun, mengapa pihak Muawiyyah masih saja terus menuntut Ali
untuk melakukannya, dan tidak mau membaiatnya sebelum urusan pembunuhan Usman
dituntaskan. Ada dugaan saat itu bahwa Ali berada di belakang para pemberontak
yang membunuh Utsman. Apalagi adanya sikap Ali yang menangguhkan pengusutan
pembunuhan Utsman dan penegakkan hukuman qishash. Ini semakin
memperkuat dugaan Muawiyyah bahwa memang Ali bersekutu dengan para pemberontak.
Dengan mengutip pakar sejarah Islam
klasik, al-Thabari, Harun Nasution mencatat bahwa salah seorang pemuka
pemberontak-pemberontak Mesir, yang dating ke Madinah dan kemudian membunuh
Utsman adalah Muhammad Ibn Abi Bakar, anak angkat Ali bin Abi Thalib. Ali saat
itu tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan
Muhammad bin Abi Bakar diangkat menjadi Gubernur Mesir.
Memang, Muhammad bin Abi Bakar adalah pemuka rombongan penentang
dari Mesir. Atas beberapa kebijakan Utsman yang tidak disetujui penduduk Mesir,
salah satunya mengangkat Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, saudara
sepersusuan Utsman, sebagai gubernur Mesir, maka Muhammad bin Abi Bakar beserta
yang lainnya pergi ke Madinah untuk mengadu kepada khalifah Utsman. Saat terdesak oleh para demonstran,
Utsman meminta bantuan Ali agar situasi bisa teratasi. Ali waktu itu
menenangkan dan meyakinkan para demonstran bahwa khalifah Utsman akan
mengabulkan tuntutan mereka selain meletakkan jabatan khalifah. Tuntutan
delegasi Mesir agar mencopot jabatan Gubernur dari Abdullah bin Sa’ad bin Abi
Sarah dikabulkan. Saudara sepersusuan Utsman ini
diganti oleh Muhammad bin Abi Bakar. Karena tuntutannya telah dikabulkan,
Muhammad bin Abi Bakar dan kelompoknya meninggalkan Madinah. Namun, saat
perjalanan pulang ke Mesir, Muhammad bin Abi Bakar mendapatkan surat yang
–katanya- dibawa oleh seorang budak Utsman. Surat tersebut memang memuat
stempel Utsman. Isi surat tersebut adalah perintah untuk membunuh para
penentang dari Mesir yang dipimpin oleh Muhammad bin Abi Bakar. Melihat isi
surat tersebut Muhammad bin Abi Bakar yang menjadi salah satu target
pembunuhan, kesal. Para penentang pun kembali ke Madinah menuntut Utsman untuk
mengundurkan diri. Saat itulah Utsman terbunuh. Mungkin karena Muhammad bin Abi
Bakar adalah ketua rombongan dari Mesir, dan termasuk salah seorang yang masuk
ke rumah Utsman, maka dia menjadi salah satu tersangka.
Tetapi, Nailah, istri Utsman, yang menjadi saksi pembunuhan Utsman,
ketika ditanya Ali bin Abi Thalib “siapa pembunuh Utsman”? Nailah menjawab:
“Saya tidak tahu, tetapi banyak orang yang masuk, wajah-wajah yang tidak saya
kenal. Muhammad bin Abi Bakar juga hadir”. Di sumber lain, Nailah hanya
menyebut nama Muhammad bin Abi Bakar, tetapi, kata Nailah, “dia sudah keluar
meninggalkan rumah itu sebelum terjadi pembunuhan”. Saat itu pula Ali langsung
bertanya kepada Muhammad bin Abi Bakar untuk menguatkan kesaksian Nailah.
Muhmmad bin Abi Bakar membenarkan statement Nailah. Kata Muhammad bin Abi
Bakar; “Saya memang ikut masuk dan setelah ia [Utsman] mengingatkan saya kepada
ayah [Abu Bakar], saya meninggalkan dia. Saya sudah bertaubat kepada Allah.
Demi Allah saya tidak membunuhnya, juga saya tidak mencegah mereka yang akan
membunuhnya.
Kesaksian Nailah di atas sebenarnya sudah menjadi bukti, bahwa
tuduhan bahwa Muhammad bin Abi Bakar adalah pembunuh Utsman tidaklah kuat.
Dengan demikian, sikap Ali yang tidak menindak tegas Muhammad bin Abi Bakar dan
malah mengangkatnya sebagai gubernur Mesir, seperti yang diungkapkan Harun
Nasution, seharusnya tidak menjadikan Muawiyah untuk kemudian tidak mau
membaiat Ali dan menentang Ali. Tindakan Ali saat itu tidaklah salah. Akan
tetapi, melihat begitu kacaunya situasi politik saat itu, yang memungkinkan
mudahnya para perusuh mengadu domba dan memperkeruh keadaan, sangat wajar jika
Muawiyah mempunyai sikap tegas untuk menolak memberi baiat sebelum Ali
menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman. Jika Ali sudah mengusut tuntas masalah
pembunuhan Utsman, mungkin Muawiyah merasa yakin bahwa Ali tidak ada sangkut
pautnya dengan kasus itu. Tapi kenyataannya tidaklah demikian. Akibat dari
perbedaan pandangan (ijtihad) inilah, baik pihak Ali maupun Muawiyah
selalu bersi tegang.
Ali sendiri ketika menghadapi
penentangan Muawiyah telah melakukan berbagai cara. Ali selalu mengirim surat
dan delegasi untuk mengajak islah, mengajak Muawiyah memberi baiat
terhadapnya. Namun, usahanya tersebut selalu menemui jalan buntu. Bahkan,
pernah satu ketika Muawiyah membalas surat kepada Ali tanpa ada isinya selain basmalah.
Tak hanya itu, surat yang bersegel “Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada
Ali bin Abi Thalib” tanpa menyebut gelar Amirul Mukminin.
Surat tersebut sebenarnya memberi
indikasi bahwa konsilidasi, negosiasi dan rekonsiliasi yang diinginkan Ali
kepada Muawiyah kecil kemungkinan berhasil. Ali akhirnya mengambil langkah
untuk melakukan tindakan kepada Muawiyyah. Sebelum mengambil tindakan, Ali terlebih
dahulu meminta persetujuan dari para sahabat yang ada di Madinah waktu itu.
Sikap sahabat pun terbagi tiga kelompok; ada yang antusias mendukung Ali,
seperti Abu Qatadah, Ammar bin Yasir, dan Umu Salamah. Ada juga yang tidak
setuju dan menyarankan agar rencana itu dipertimbangkan terlebih dahulu. Ada
yang bersikap diam dan memilih menyingkir dari rencana ini seperti Saad bin Abi
Waqqas, Suhaib bin Sinan, Muhammad bin Maslamah dan Abdullah bin Umar. Ibnu
Abbas dan Mughirah bin Syu’bah tatkala itu bahkan menyarankan agar Ali tidak
tergesa-gesa dan membiarkan Muawiyah pada jabatannya untuk beberapa lama
sehingga suhu politik mereda terlebih dahulu. Namun saran dari kedua sahabat
dekatnya itu, dirasa kurang tepat. Justru jika Muawiyah terus dibiarkan memimpin,
dia khawatir kelompok opisisi di Syiria akan semakin banyak dan kuat karena
pengaruh Muawiyah.
Singkatnya, peperangan antara kubu
Ali dengan Muawiyah dalam waktu yang tidak lama lagi akan terjadi. Tepat pada
akhir bulan Dzulqaidah tahun 36 H, Ali memutuskan untuk bergerak menuju Syam
dengan kekuatan pasukan sekitar seratus ribu hingga seratus lima puluh ribu
personil. Rencana Ali itu sampai pada Muawiyah, dan segera setelah itu Muawiyah
pun menyiapkan pasukan dengan kekuatan sembilan puluh ribu hingga seratus lima
puluh ribu personil. Kedua pasukan tersebut akhirnya bertemu di Shiffin, suatu
tempat di lembah sungai Efrat yang menjadi perbatasan Irak dan Syiria. Perang
pun terjadi. Kedua pasukan itu berperang sepanjang bulan Dzulhijah tahun
36 H. Kemudian terselingi gencatan senjata selama bulan Muharram awal tahun 37
H. Peperangan dilanjutkan kembali awal bulan Shafar dengan sangat hebatnya
kerena kedua belah pihak sudah tidak lagi ingin mengakhiri pertempuran yang
sudah sangat melelahkan itu. Sejak pertempuran pertama kali terjadi, korban
meninggal dari dua pihak diprerkirakan tujuh puluh ribu orang. Sedang luka
korban fisik tidak terhitung.
Tahkim Siffin dan Perpecahan Ummat
Pada minggu kedua dari bulan Safar,
pasukan Muawiyah mulai terdesak, sementara pasukan Ali berada di atas angina. Muawiyah
yang sudah berpengalaman dalam bidang politik dan peperangan, akhirnya menyuruh
beberapa pasukannya untuk mengangkat Mushaf al-Quran sebagai isyarat untuk
menghentikan pertempuran. Melihat itu, kubu Ali terbagi kepada dua bagian. Ada
yang menyarankan Ali untuk tidak menerima penghentian pertempuran sebelum ada
pihak yang kalah dan menang. Ada juga yang menyuruh Ali untuk menerimanya.
Menarik untuk dibahas tentang kedua
kubu Ali yang berbeda pendapat ini. Ada pendapat, dan ini kebanyakan yang
diambil, bahwa Ali saat itu sebenarnya tidak mau menerima strategi Muawiyah
untuk menghentikan pertempuran, namun beberapa orang komandan perang seperti
seperti Asy’ats bin Qais al-Tamimy, Mis’ar bin Fadaky al-Tamimy dan Zaid bin
Hishn al-Thaiy, yang nantinya justru malah menentang Ali bahkan mengkafirkannya
(khawarij), menyuruh Ali untuk menerima ajakan Muawiyah. Pendapat lain
justru sebaliknya. Justru Ali sendiri yang saat itu mempunyai ide untuk
menerima ajakan Muawiyah, sebab dalam al-Quran terdapat perintah untuk
melakukan islah jika terjadi pertentangan. Karenanya, Ali menjadi
bahan bulan-bulanan khawarij karena telah menerima ajakan Muawiyah.
Menurut Amhazum, pendapat yang kedualah yang benar mengingat peristiwa-peristiwa
setelah itu, Ali dan beberapa sahabat dekatnya seperti Ibnu Abbas, Sahl bin
Hunaef dan Hasan putra Ali, beberapa kali membela diri dari hujatan pihak
Khawarij yang mengecam Ali karena menerima tahkim. Kemungkinan cerita-cerita
yang menyudutkan khawarij itu sengaja diputar balikan karena ingin mensucikan
Ali dan menimpakan keburukan terhadap pihak khawarij. Sebab,
perdebatan-perdebatan Ali dengan khawarij justru memperkuat bukti bahwa memang
Ali sendiri yang berinisiatif menerima ajakan damai dari pihak Muawiyah.
Meskipun di kubu Ali waktu itu
terbagi kepada dua suara, namun akhirnya mereka sepakat untuk mengakhiri
pertempuran dan melakukan perundingan damai (tahkim). Perundingan tersebut dilakukan dengan cara masing-masing kubu
mengirim delegasinya sebagai juru rundingnya. Pihak Muawiyah menunjuk Amr bin
Ash. Sedangkan pihak Ali menunjuk Abu Musa al-Asy’ari. Perundingan tersebut
rencananya akan dilaksanakan pada bulan Ramadhan di tempat Adzrah, daerah
Daumatul Jundal yang menjadi wilayah perbatasan Irak dan Syam.
Banyak riwayat yang dituturkan pada kitab-kitab tarikh bahwa Abu
Musa dan Amr saat itu sepakat melepaskan jabatan khilafah dari Ali maupun dari
Muawiyah dan mengembalikannya kepada Syura kaum muslimin. Tetapi saat pembacaan
keputusan Amr yang berbicara belakangan menghianati kesepakatan dengan
menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah karena Ali telah diberhentikan oleh Abu
Musa. Maka terjadilah kekacauan di arena persidangan. Abu Musa mengecam Amr
yang telah khianat sebagai anjing yang menjulurkan lidahnya. Amr balik menghina
Abu Musa dengan menyindirnya sebagai keledai yang memikul kitab. Gagallah misi
perundingan. Abu Musa mengasingkan diri ke Mekah karena malu kepada Ali.
Sementara Amr bergabung dengan Muawiyah dan mendapat kedudukan yang terhormat
di hadapannya. Peristiwa ini menyebabkan ummat islam terpecah
menjadi tiga golongan:
1.
Golongan Syi’ah
Syi’ah berarti pengikut
(pendukung faham). Perkataan ini dipakai untuk orang yang mengangkat Ali dan
keluarganya untuk menjadi Khalifah dan berpendapat bahwa keluarganyalah yang
berhak menjadi Khalifah.
Diantara para sahabat yang
membela faham Ali, ialah: Salman al-Farisi,Abu Dzar al-Ghifari, Jabir Ibn
‘Abdullah, Al-MiqdadIbn al-Aswad, Ubai Ibn Ka’ab, Khuzaimah Ibn Tsabit dan
semua bani Hasyim.
Pengikut-pengikut Syi’ah
terdiri dari beraka golongan yang berlain-lainan maksudnya. Pendapat yang
disetujui oleh seluruh Syi’ah, adalah imamah atau khilafah harus
tetap berada pada keturunan Ali. Jika tidak demikian, maka itu adalah karena
dirampas atau diserobot oleh kaum yang dzalim. Merekapun berkata “Seungguhnya
imamah itu bukanlah dari kemaslahatan-kemaslahatan umum yang diserahkan kepada
pertimbangan ummat. Dan yang mengendalikan urusan itu diangkat dengan
pemilihan. Tetapi imamah itu adalah suatu rukun agama, suatu qa’idah agama,
tidak boleh Nabi membiarkannya dan menyerahkannya kepada ummat sendiri, tetapi
wajib atas Nabi menentukan siapa yang akan menjadi imam; dan yang ditentukan
itu haruslah ma’sum dari dosa besar ataupun dosakecil. Dan bahwasannya Ali adalah
orang yang ditentukan untuk itu.
2. Golongan Pendukung
Muawiyah
Beliau dalah gubernur Damaskus,
yang menuntut kematian Utsman bin Affan agar diusut.
3. Golongan Khawarij
Setelah proses tahkim berakhir dan kemengangan
berada di pihak Muawiyah, kelompok Ali terbelah menjadi dua. Ada yang tetap mendukung Ali dengan setia. Ada yang keluar dan
menyudutkan posisi Ali. Kelompok kedua inilah yang disebut sebagai khawarij.
Kelompok ini merasa kecewa dengan keputusan Ali yang menerima tahkim.
Setelah proses tahkim selesai, dengan rasa kecewa, sekitar 12 000
orang pulang menuju Kuffah. Mereka membuat markas militer tersendiri di Harura.
Mereka mengecam Ali dan menuduhnya telah berbuat kufur serta syirik karena
menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Padahal menurut mereka hukum itu
hanya milik Allah. Mereka berpendapat bahwa perkara yang terjadi antara Ali dan
Muawiyah seharusnya tidak boleh diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan
hanya dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Quran.
Ketika Ali sedang berkhutbah Jumah, sebagian orang Khawarij
meneriakinya denga kata-kata, “tidak ada hukum selain milik Allah”. Ali
mengancam mereka, “Aku tidak melarang kalian datang ke mesjid kami dan kami
tidak akan menindak kalian selama kelian tidak berbuat terlebih dahulu
memerangi kami”. Tetapi mereka semakin agresif menyudutkan Ali dan
mengkampanyekan pahamnya dengan slogan, “hukum itu hanya milik Allah.”
Ali mengajak mereka berdialog dan berdebat tentang masalah tahkim
itu secara fair dengan hati yang tenang dan akal yang jernih. Ibnu Abbas
ditugaskan mendebat kaum Khawarij dan ribuan dari mereka mau kembali bergabung
dengan Ali setelah menyadari kekeliruan pendapat mereka dan bahwa pendapat Ali
itulah yang benar. Tetapi sebagian dari mereka tetap bersikukuh pada
pendiriannya dan membentuk keimaman sendiri. Abdullah bin Wahab Ar Rasyibi
ditunjuk sebagai panglima perang mereka. Ali terpaksa menumpas kaum Khawrij
dengan kekuatan pedang setelah nyata kepadanya bahwa mereka tidak dapat diajak
dialog dan kompromi. Terlebih lagi setelah terbukti gerakan Khawarij
menimbulkan kekacaun baru dengan membunuh siapa saja yang tidak mau
mempersalahkan Ali, sehingga putra seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Khabbab
dan istrinya yang sedang hamil menjadi korban pembantaian mereka. Ali menumpas
mereka pada perang Nahrawan dan Harura. Tetapi kehancuran pasukan
Khawarij tidak mebuat mereka surut. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada mereka
terus melakukan serangan kepada kelompoak Ali maupun Muawiyah.
Diwaktu Beliau bersiap-siap hendak mengirim bala tentara sekalai
lagi untuk memerangi Mu'awiyah, terjadilah sutu komplotan untuk mengakhiri
hidup masing-masing dari Ali, Mu'awiyah dan 'Amr ibnu Ash. Komplotan ini
terdiri dari tiga orang khawarij, yang telah sepakat hendak membunuh ketiga
pemimpin itu pada malam yang sama. Seorang diantaranya bernama Abdurrahman ibnu
Muljam. Orang ini barangkat ke Kuffah untuk membunuh Ali. Yang seorang lagi
bernama Barak ibnu Abdillah at Tamimi yang pergi ke Syam untuk membunuh
Mu'awiyah. Sedang yang ke tiga yaitu 'Amr ibnu Bakr at Tamimi berangkat ke
Mesir untuk membunuh 'Amr ibnul Ash.
Tetapi di antara ketiga orang itu hanyalah Abdurrahman ibnu Muljam
yang dapat membunuh Ali. Ibnu Muljam membunuh Ali dengan menusuk Ali dengan
pedang, waktu beliau sedang memanggil orang-orang untuk melaksanakan shalat.
Orang-orang yang shalat di masjid itu dapat menangkap ibnu Muljam, yang
kemudian sesudah Ali berpulang ke Rahmatullah dia dibunuh.
Ada tiga hal mendasar sebagai alasan kaum Khawrij berbelot dari pasukan
Ali dan kemudian menjadi musuhnya yang sangat militan:
Pertama, mereka menuduh Khalifah Ali telah mengkhianati dirinya sendiri
beserta semua kaum Muslimin yang telah mengangkatnya sebagai Khalifah. Karena
Ali telah menerima keberatan pihak Muawiyah untuk tidak menggunakan gelar “Amir
al Mukimin” di belakang namanya ketika menandatangani naskah perjanjian damai.
Dengan demikian Ali dipandang mengadakan perjanjian dengan pihak Muawiyah atas
nama dirinya sendiri, Ali putra Abu Thalib.
Kedua, Ali divonis telah berbuat syirik
karena menyekutukan Allah dalam masalah hukum. Sebab ia menyerahkan keputusan
politiknya dalam persengketaannya dengan Muawiyah kepada delegasi dari kedua
belah pihak. Padahal keputusan hukum itu hanya milik Allah bukan milik manusia.
Sedang Muawiyah jelas sebagai pembangkang yang harus diperangi bukan diajak
berdamai. Untuk tuduhan ini kaum Khawarij berargumen dengan ayat, “Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah”.
Ketiga, Khalifah Ali dituduh telah berbuat
dosa besar dengan membunuh puluhan ribu jiwa yang tidak berdosa. Yaitu ketika
Ali memerangi pengikut Aisyah pada perang Jamal. Kalaulah ia yakin halal
memerangi mereka, mengapa ia mengharamkan harta rampasannya serta menawan
anak-anak dan istri-istri mereka. Mereka menuduh Ali telah berbuat salah besar
karena telah menghalalkan darah pasukan Aisyah tetapi mengharamkan harta
bendanya.
Ali mengutus Ibnu Abbas untuk mendebat kesesatan Kaum Khawarij, di
samping ia sendiri terjun ke tengah-tengah mereka dan menyeru mereka agar
kembali ke jalan yang benar. Terhadap tuduhan-tuduhan mereka, Ali dan Ibnu Abbas menjawab dengan
beberapa argumen:
Pertama, tuduhan bahwa Ali mencopot diri dari kedudukannya sebagai Imam
kaum Muslimin karena menerima naskah perjanjian dengan tanpa mencantumkan
atribut “Ali Imam kaum Muslimin” suatu yang tidak beralasan. Karena
nama Ali tanpa kata “Imam kaum Muslimin” tidak akan merubah kedudukannya
sebagai Khalifah, pemimpin orang beriman. Lagi pula ada dalil yang dicontohkan
Nabi Muhammad ketika beliau mengadakan perjanjian damai dengan kaum Musyrik
Mekah, Nabi bersedia memenuhi permintaan kaum Musyrik agar nama beliau tidak
pakai embel-embel “Rasul Allah” dalam naskah perjanjian. Saat itu Ali yang jadi
juru tulis Nabi menolak keras menghapus kata “Rasul Allah” dari belakang nama
Muhammad. Sehingga Nabi sendiri yang menghapusnya serta memaksa Ali agar
menuliskan kata “Muhammad putra Abdullah” sebagai ganti “Muhammad Rasul Allah”.
Kemudian Ali membaca ayat, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu
suri tauladan yang baik bagi kamu. (Yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah”.
Kedua, tuduhan
bahwa Ali telah menyekutukan Allah dibidang hukum karena menyerahkan hukum
kepada para delegasi untuk bermusyawarah dan mencari solusi persoalan dirinya
dengan Muawiyah adalah tuduhan yang salah kaprah. Hukum
Allah tidak akan bertindak dengan sendirinya, melainkan harus ada orang yang
menegakkannya. Dalam hal ini Ali meminta kedua utusan, yaitu Abu Musa dari pihaknya
dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah, agar bermusyawarah dan mencari
keputusan hukum berdasar Kitab Allah dan Sunnah Nabi. Bukan hukum yang
dilahirkan semata-mata dari akal fikiran mereka berdua. Kemudian Ali beranalogi
dengan kasus penetapan hukum oleh wakil-wakil keluarga yang bertengkar yang
justru diperintahkan Al Quran. Jika dua orang suami istri saja yang bertengkar
dalam urusan rumah tangga yang sepele Allah perintahkan agar masing-masing
mengutus juru runding untuk mencari penyelesaian perkara yang diperselisihkan
keduanya, maka lebih-lebih lagi jika yang dipertengkarkan itu menyangkut darah
dan kehormatan umat Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, atas tuduhan bahwa Ali bersikap ambigu
dalam kasus harta rampasan dan tawanan perang Jamal, dengan menghalalkan
darahnya tapi mengharamkan harta bendanya, Khalifah Ali menjawab singkat, “Di
antara tawanan perang itu ada ibu kaum mukmin (maksudnya Siti Aisyah). Kalau
kalian mengatakan bahwa ia bukan lagi ibu kalian, berarti kalian telah kafir,
dan jika kalian menghalalkan menawan ibu kalian berarti kalian telah kafir
juga”.
KESIMPULAN
Berbagai langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Ali dalam rangka
menjalankan roda pemerintahannya, merupakan ijtihad politik yang sangat
cemerlang. Meskipun pada akhirnya, kebijakan tersebut banyak memakan korban. Di
lain sisi, kita juga tidak bisa menyalahkan Aisyah, Thalhah dan Zuber ketika
melakukan penentangan terhadap Ali. Karena latar belakang penentangan mereka
juga berdasarkan pada nash al-Quran yang dapat dipertanggung jawabkan. Apa yang
dilakukan oleh Aisyah dan pengikutnya saat itu, juga didasarkan pada ijtihad
politik. Baik Aisyah, Thalhah maupun Zuber tujuannya satu, memberikan nasihat
kepada Ali sebagai pemimpin untuk menjalankan al-Quran dan Sunnah. Hanya saja,
cara yang ditempuh oleh mereka seperti itu. Sikap yang sama juga harus kita
berikan terhadap Muawiyah.
Mereka semua tidak pernah
mengkafirkan antara sesama. Mereka hanya berbeda dalam cara menempuh menegakkan
kebenaran. Maka kita juga tidak mengkafirkan seperti yang dilakukan khawarij.
Kita juga mengakui ashab al-Nabiy kulluhum uduul. Sedangkan sikap kita
terhadap khawarij, meskipun argumen Khawarij tegas mengacu kepada nash Al
Quran, tetapi mengarahkan makna ayat tersebut kepada kasus Tahkim Ali
dan Muawiyah adalah interpretasi mereka yang sangat dangkal. Langkah kaum
Khawarij yang menyeret tindakkan para pelaku konflik politik ke dalam paradigma
teologis yang kaku dan ekstrim, sehingga menyebabkan mereka dengan
sewenang-wenang menilai dan menetapkan hukum kafir atau muslim kepada siapa
yang mereka kehendaki, menjadi salah satu faktor penyebab munculnya pemikiran
teologi tandingan seperti Syiah yang mengkafirkan semua lawan politik Ali. Dan
pada gilirannya melahirkan pemikiran “poros tengah” yang menolak menetapkan
hukum atau status kafir terhadap seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim
hanya karena tindakkan-tindakkan politiknya. Bagi mereka, semua status keimanan
seseorang diserahkan kepada Allah saja, sebab manusia hanya bisa menilai
seseorang dari perbuatan lahiriyahnya saja, sementara hakikat iman ada pada
hati dan niyat tindakan para pelaku itu sendiri.
Terakhir, konflik yang terjadi
diantara sahabat nabi merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa,
dimana dan kapan saja. Semua itu, merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam
di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh al-Quran disebut khair
al-Ummah, bisa mengalami konflik, apalagi kita. Namun bagaimana seharusnya
kita menyikapinya secara positif agar tidak menimpa kita. Wallahu
a’lam bi al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Prof. Dr.
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, terj. Prof. Dr. H.
Mukhtar Yahya dan Drs. M. Sanusi Latief (Al Husna Zikra, Jakarta: 2000)
2.
DR. Badri Yatim MA., Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: Rajawali Press, 2007)
3.
Harun
Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (UI-Press,
Jakarta: 2002)
4.
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqey, Sejarah Dan Pengantar Ilmu
Tauhid/Kalam, (Bulan Bintang, Yogyakarta: 1972)
5.
Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah
dan Kebudayaan Islam I, Terj. H.A. Baha uddin, (Kalam Mulia, Jakarta:
2006), cet. 2.
6.
George
Jordac, Suara Keadilan; Sosok Ali bin Abi Thalib, , terj.
Muhammad al-Sajjad,
(Lentera, Jakarta: 1996)
7.
Jeje
Zainudin Abu Himam, Akar Konflik Umat Islam, (Bandung: Persis Press, 2008),
cetakan pertama.
8.
Abu
al-Fida Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, (Beirut:
Dar al-Mariifah: 1999), cet ke-5, Jilid IV.
9.
Ensiklopedi
Islam, Jilid I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta: 1993
10. Abbas Mahmud al-Aqqad, Kejeniusan
Ali bin Abi Thalib, terj. Gazirah Abdi Ummah, (Pustaka Azzam,
Jakarta: 2002)
11. Prof. Dr. Muhammad Amhazun,
Fitnah Kubra, Tragedi Pada Masa Sahabat; Analisa Historis
dalam Perspektif Ahli Hadits dan Imam al-Thabary, terj. Dr. Daud
Rasyid (LP2SI al-Haramain, Jakarta: 1994)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar